Sumpallabu Bone
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Selamat datang di blog tanpa pengunjung. Disinilah tempatnya "Orang Sunda" yang terdampar di tanah Celebes (Sulawesi).
Dalam sejarahnya, Kabupaten Bone Merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah ada di nusantara. Didirikan oleh ManurungngE Rimatajang pada tahun 1330, kerajaan Bone mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Aru Palakka pada pertengahan abad ke 17. Dalam perjalanannya hingga kini daerah dengan semboyan "Kota Beradat" ini pun mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Seiring perkembangan peradaban bumi Aru Palakka, banyak cerita dan sejarah yang berkembang di tengah masyarakat Bone. Salah satu saksi mata yang bisa menjadi referensi perubahan di wilayah yang mempunyai 27 kecamatan ini adalah Sumpallabbu. Sebuah terowongan di badan gunung yang masuk wilayah kecamatan Bengo. Memiliki panjang sekira 5 meter, Sumpallabu yang biasa dituliskan oleh anak muda Bone dengan tulisan keren ‘Zhumpallabbu’. Sejak dibuat hinggi kini Sumpallabbu menjadi pintu masuk dan keluarnya warga dari dan menuju kota Bone.
Tidak jelas kapan tanggal dan tahun pastinya terowongan ini selesai dibuat. Namun menurut cerita orang Bone yang coba saya tanya, katanya Sumpallabu dibuat saat masa kompeni Belanda. Saat itu sedang dibangun jalan panjang dari arah barat yang menghubungkan Makassar, Maros menuju Bone. Namun saat mega proyek yang dibangun itu sampai di pegunungan kecamatan Bengo, para pekerja menemukan jalan buntu. Sebab tebing gunung berbatu menghalangi jalur yang sedang dibuat. Karena tidak ada jalan lain, maka dilubangilah dinding bukit itu oleh warga menggunakan peralatan seadanya. Dakam perjalanan dari Watampone (ibukota kabupaten Bone) menuju Lappariaja, saya pernah singgah beristirahat di sekitar terowongan tersebut dan berbincang-bincang sedikit dengan seorang kakek tua warga setempat, konon katanya beliau juga sempat mengucurkan keringatnya untuk melubangi dinding gunung ini. Lebih lanjut beliau mengatakan ada ratusan bahkan ribuan pekerja yang digunakan hanya untuk melubangi punggung gunung ini. Dan katanya lagi, bahwa pada waktu itu yang berhasil melubangi bukit ini adalah mayoritas warga dari kecamatan Ponre.
Menurutnya, penamaan Sumpallabu berasal dari dua kata. Sumpang artinya pintu dan Labbu artinya tepung. Jadi menurut beliau, Sumppallabbu bisa diartikan sebagai pintu yang dibuat dengan cara melubangi gunung secara perlahan sampai bukit berbatu itu hancur dan halus seperti tepung. Hingga akhirnya jebol dan menjadi jalur keluar masuknya kendaraan ataupun orang menuju Bone.
Bagi perantau asal bone, Sumpallabbu menjadi satu-satunya pintu bila ingin keluar pulau Sulawesi Selatan melewati Makassar. Sehingga pintu batu yang terletak di antara perbatasan kecamatan Ulaweng dan Kecamatan Bengo ini, telah lama menjadi saksi mata bagi mereka yang keluar masuk dari dan ke kota Bone yang mana ditahun 2017 berpenduduknya berjumlah 863.654 jiwa menurut data Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil. Dimana 99,32 persen atau mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
Peradaban moderen yang dibawa oleh warga dari luar Bone sebelum masuk dan sampai ke kota Bone, harus melewati pintu yang saat saya singgahi ini penuh dengan coretan. Meski telah dipugar dengan bangunan anak tangga di atas terowongan buatan tangan ini, tidak banyak orang yang bisa singgah di Sumpallabu. Mungkin karena lokasinya yang agak sempit, sehingga sulit untuk memarkir kendaraan di sekitar Sumpallabbu. Di seberang terowongan selalu terlihat aktifitas bongkar muat barang dari truk ekspedisi yang mana sebagian muatannya harus di bongkar dulu untuk bisa melewati terowongan tersebut. Tentunya ini menjadi berkah pula bagi warga setempat yang menjadi buruh bongkar muat di tempat ini.
Berdiri kokoh melingkari jalan, Sumpallabbu kini menjadi saksi mata yang bisu melihat hilir mudik setiap kendaraan yang keluar masuk wiayah Bone. Sebagai jalan privinsi, terowongan ini jugalah yang dilalui sebagai jalur transportasi dan perekonomian dari Makassar menuju Sulawesi Tenggara melalui pelabuhan Bajoe begitu juga sebaliknya.
Saya dan teman-teman menyempatkan singgah sejenak meski hanya sekedar foto-foto di Sumpallabu, saat pulang dari kota Bone menuju Lapri dengan sepeda motor. Untuk sampai ke Sumpallabbu, dibutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan dari arah kota Watampone. Itupun harus melewati jalan sempit yang berliku ketika sudah mendekati lokasi ini. Oleh karena itu dibutuhkan kehati-hatian bagi pengendara. Karena daerah Sumpallabu khususnya sangat rawan terjadi kecelakaan lalulintas.
Berdiri di atas Sumpallabbu membuat anda leluasa memandangi pemukiman penduduk, hamparan sawah dan barisan pegunungan. Jika tiba sore hari, anda pun bisa melihat sang surya terbenam dibalik pegunungan. Sumpallabbu terbuka 24 jam bagi arus kendaraan, barang dan manusia. Sejak dulu hingga kini tetap berdiri kokoh menjadi saksi bisu peradaban Bone.
Demikian sedikit cerita tentang Sumpallabu.
Sumber tambahan:
”Panyingkul”
blogJurnalisme Orang Biasa
Selamat datang di blog tanpa pengunjung. Disinilah tempatnya "Orang Sunda" yang terdampar di tanah Celebes (Sulawesi).
Dalam sejarahnya, Kabupaten Bone Merupakan salah satu kerajaan besar yang pernah ada di nusantara. Didirikan oleh ManurungngE Rimatajang pada tahun 1330, kerajaan Bone mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Aru Palakka pada pertengahan abad ke 17. Dalam perjalanannya hingga kini daerah dengan semboyan "Kota Beradat" ini pun mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Seiring perkembangan peradaban bumi Aru Palakka, banyak cerita dan sejarah yang berkembang di tengah masyarakat Bone. Salah satu saksi mata yang bisa menjadi referensi perubahan di wilayah yang mempunyai 27 kecamatan ini adalah Sumpallabbu. Sebuah terowongan di badan gunung yang masuk wilayah kecamatan Bengo. Memiliki panjang sekira 5 meter, Sumpallabu yang biasa dituliskan oleh anak muda Bone dengan tulisan keren ‘Zhumpallabbu’. Sejak dibuat hinggi kini Sumpallabbu menjadi pintu masuk dan keluarnya warga dari dan menuju kota Bone.
Tidak jelas kapan tanggal dan tahun pastinya terowongan ini selesai dibuat. Namun menurut cerita orang Bone yang coba saya tanya, katanya Sumpallabu dibuat saat masa kompeni Belanda. Saat itu sedang dibangun jalan panjang dari arah barat yang menghubungkan Makassar, Maros menuju Bone. Namun saat mega proyek yang dibangun itu sampai di pegunungan kecamatan Bengo, para pekerja menemukan jalan buntu. Sebab tebing gunung berbatu menghalangi jalur yang sedang dibuat. Karena tidak ada jalan lain, maka dilubangilah dinding bukit itu oleh warga menggunakan peralatan seadanya. Dakam perjalanan dari Watampone (ibukota kabupaten Bone) menuju Lappariaja, saya pernah singgah beristirahat di sekitar terowongan tersebut dan berbincang-bincang sedikit dengan seorang kakek tua warga setempat, konon katanya beliau juga sempat mengucurkan keringatnya untuk melubangi dinding gunung ini. Lebih lanjut beliau mengatakan ada ratusan bahkan ribuan pekerja yang digunakan hanya untuk melubangi punggung gunung ini. Dan katanya lagi, bahwa pada waktu itu yang berhasil melubangi bukit ini adalah mayoritas warga dari kecamatan Ponre.
Menurutnya, penamaan Sumpallabu berasal dari dua kata. Sumpang artinya pintu dan Labbu artinya tepung. Jadi menurut beliau, Sumppallabbu bisa diartikan sebagai pintu yang dibuat dengan cara melubangi gunung secara perlahan sampai bukit berbatu itu hancur dan halus seperti tepung. Hingga akhirnya jebol dan menjadi jalur keluar masuknya kendaraan ataupun orang menuju Bone.
Bagi perantau asal bone, Sumpallabbu menjadi satu-satunya pintu bila ingin keluar pulau Sulawesi Selatan melewati Makassar. Sehingga pintu batu yang terletak di antara perbatasan kecamatan Ulaweng dan Kecamatan Bengo ini, telah lama menjadi saksi mata bagi mereka yang keluar masuk dari dan ke kota Bone yang mana ditahun 2017 berpenduduknya berjumlah 863.654 jiwa menurut data Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil. Dimana 99,32 persen atau mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.
Peradaban moderen yang dibawa oleh warga dari luar Bone sebelum masuk dan sampai ke kota Bone, harus melewati pintu yang saat saya singgahi ini penuh dengan coretan. Meski telah dipugar dengan bangunan anak tangga di atas terowongan buatan tangan ini, tidak banyak orang yang bisa singgah di Sumpallabu. Mungkin karena lokasinya yang agak sempit, sehingga sulit untuk memarkir kendaraan di sekitar Sumpallabbu. Di seberang terowongan selalu terlihat aktifitas bongkar muat barang dari truk ekspedisi yang mana sebagian muatannya harus di bongkar dulu untuk bisa melewati terowongan tersebut. Tentunya ini menjadi berkah pula bagi warga setempat yang menjadi buruh bongkar muat di tempat ini.
Berdiri kokoh melingkari jalan, Sumpallabbu kini menjadi saksi mata yang bisu melihat hilir mudik setiap kendaraan yang keluar masuk wiayah Bone. Sebagai jalan privinsi, terowongan ini jugalah yang dilalui sebagai jalur transportasi dan perekonomian dari Makassar menuju Sulawesi Tenggara melalui pelabuhan Bajoe begitu juga sebaliknya.
Saya dan teman-teman menyempatkan singgah sejenak meski hanya sekedar foto-foto di Sumpallabu, saat pulang dari kota Bone menuju Lapri dengan sepeda motor. Untuk sampai ke Sumpallabbu, dibutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan dari arah kota Watampone. Itupun harus melewati jalan sempit yang berliku ketika sudah mendekati lokasi ini. Oleh karena itu dibutuhkan kehati-hatian bagi pengendara. Karena daerah Sumpallabu khususnya sangat rawan terjadi kecelakaan lalulintas.
Berdiri di atas Sumpallabbu membuat anda leluasa memandangi pemukiman penduduk, hamparan sawah dan barisan pegunungan. Jika tiba sore hari, anda pun bisa melihat sang surya terbenam dibalik pegunungan. Sumpallabbu terbuka 24 jam bagi arus kendaraan, barang dan manusia. Sejak dulu hingga kini tetap berdiri kokoh menjadi saksi bisu peradaban Bone.
Demikian sedikit cerita tentang Sumpallabu.
Sumber tambahan:
”Panyingkul”
blogJurnalisme Orang Biasa
Komentar
Posting Komentar